Artikel GKJ Kronelan

Jemaat yang mengasihi Tuhan, Yesus dengan keras menyebut beberapa orang Farisi dan ahli taurat yang menemuinya dengan kata munafik (Bhs. Yunani : hypokriton). Di Injil Markus, kata ini hanya muncul satu kali dalam ucapan Yesus. Mengapa Yesus menyebut mereka sebagai orang-orang munafik? Mereka terpaku pada hal-hal bersifat ritual, tetapi telah kehilangan esensi dari ritus itu sendiri. Bagi orang Yahudi pada waktu itu, mencuci tangansebelum makan memang merupakan tindakan kesalehan iman. Meski demikian esensi dalam tindakan ritus mencuci tangan ini bukan hanya bersih jasmani, melainkan bersih hati/batin.

Dengan gamblang, Yesus menyingkap kemunafikan mereka ketika mereka sendiri tidak mau memberikan dukungan finansial kepada orang tua mereka, dengan dalih uang mereka sudah dipersembahkan kepada Tuhan. Secara ritus mereka kelihatan bersih: memberi persembahan kepada Tuhan, tetapi secara hati/batiniah mereka kotor, karena melakukan itu dengan maksud melepas tanggung jawab finansial terhadap orang tua mereka (ayat 11-12). Yesus menegaskan persoalan najis atau tidak, bersih atau tidak, tidak bisa sekadar dinilai dari pelaksanaan ritus yang ada, tetapi juga batin/hati sebagai sumber yang mendorong pelaksanaan ritus tersebut.

Rasul Yakobus juga menekankan pentingnya kesatuan kata dan perbuatan dalam kehidupan orang percaya. Rasul Yakobus membedakan dengan tegas antara pendengar dan pelaku firman. Sepintas lalu mereka adalah orang-orang yang kelihatannya sama. Mereka sama-sama menerima firman Tuhan. Akan tetapi para pendengar, memang hanya sebatas mendengar saja. Bisa saja pada saat mendengar firman, mereka terpesona, terharu atau tersentuh hatinya. Meski demikian setelah semua itu dialami, tetap tidak akan terjadi apa-apa dalam hidupnya. Yakobus mengibaratkan bagaikan seseorang yang baru saja memandang wajahnya di cermin, tetapi terus lupa begitu saja, lupa apakah ada yang perlu dibarui dalam hidupnya ataukah tidak. Berbeda dengan pelaku firman. Sesudah bercermin, ia tahu apa yang mesti diperbarui dalam hidupnya supaya semakin menjadi lebih baik hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Memperbarui hidup kita berarti tidak membiarkan diri jatuh dalam godaan kemunafikan, godaan untuk menjalani hidup dengan bermuka dua, godaan untuk hidup berbeda antara iman dan perbuatan. Ketika Rasul Yakobus menuliskan: tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja, bukannya tanpa maksud. Banyak orang senang mendengar firman/pengajaran, bahkan mungkin bisa terpesona, atau merasa sejahtera dan damai setelah mendengar firman itu, tetapi menjadi orang beriman tidak hanya sebatas itu. Yang menjadi pokok, bukanlah kita mendengarkan firman, tetapi apa yang perlu dilakukan setelah firman itu kita dengar. Yang diperlukan oleh orang-orang beriman bukan sekedar kepuasaan rohaniah kita, tetapi aksi rohaniah kita yang telah terpuaskan oleh firman tersebut. Apa gunanya seseorang merasa diberkati pergi ke gereja mendengar firman, tetapi setelah keluar dari gereja tidak mau memperbarui hidupnya sesuai dengan firmanNya?

Yang diperlukan untuk memperbarui hidup adalah melakukan firmanNya, serasi antara apa yang didengar dan dilakukan, harmonis antara kata dan perbuatan sesuai kehendak-Nya. Jadi, apakah Anda merasa tenteram, nyaman, puas dan damai setelah mendengar kotbah hari ini? Kalau sudah syukurlah, tugas Anda tinggal satu: lakukan beberapa hal penting dari kotbah yang Anda dengar. Kalau tidak, saya yakin, satu bulan lagi, mungkin malah bisa satu minggu lagi, Anda sudah lupa kotbah yang Anda dengarkan hari ini. Ketika Anda mempraktikkan khotbah yang Anda dengar, Anda akan mengingat terus khotbah itu, dan yang paling penting khotbah itu akan memperbarui hidup Anda dan bisa juga memperbarui hidup sesama Anda.

Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/

Ibadah Natal 2024 dan Tahun Baru 2025