Jemaat yang terkasih, ada banyak jenis fobia, misalnya: Xenophobia, ketakutan terhadap orang-orang yang asing baginya, atau orang orang yang berbeda dengan dirinya; ethnophobia, ketakutan terhadap orang-orang yang berbeda suku dan bangsa dengan dirinya, dan masih banyak lagi jenis fobia.
Yesus adalah salah satu teladan dalam hidup kita, Ia tidak membedakan orang. Kasih dan kebaikan Yesus dikaruniakan bagi semua bangsa. Kita bisa saja berasal dari suku, golongan, dan agama tertentu. Namun demikian, seperti Yesus, kita tidak ingin semua itu membutakan mata hati kita untuk menyatakan cinta kasih pada sesama.
Kita diundang untuk merayakan kebaikan Tuhan bagi semua, bahkan ketika mereka berbeda dengan kita, dengan perlakuan yang tidak diskriminatif berdasar suku, agama, dan golongan. Rasul Yakobus mewujudkan keteladanan Yesus ketika memberi nasihat pada jemaat Kristen untuk tidak memandang muka. Tersikap diskriminatif terhadap sesama. Ia memberikan contoh betapa mudahnya seseorang jatuh dalam sikap diskriminatif terkait perbedaan status sosial/ekonomi seseorang. Dengan tegas Yakobus menyampaikan bahwa siapapun yang memandang muka sama saja sudah jatuh dalam dosa.
Jemaat yang terakasih ada ilustrasi mengenai anak-anak pak Tono. Keluarga pak Tono yang Kristen, baru saja menerima bingkisan ayam bakar dari pak Abdul tetangganya yang beragama muslim, yang bersyukur karena sembuh dari sakit. Ayam bakar ini diterima Agus, anak bungsu pak Tono. Begitu dibuka dan tahu isinya ayam bakar, langsung saja ia ambil satu potong untuk lauk makan siang. “Ah enak sekali ayam ini,” guman Agus sambil menikmatinya
Beberapa saat kemudian, Budi, kakaknya keluar dari kamar, bertanya kepada adiknya, “Gus, ayam bakar dari mana tuh, aku jadi pengin makan juga.” Jawab Agus, “Dari pak Abdul, bersyukur karena sudah sembuh dari sakitnya.” Kata Budi kepada Agus, ” Wah, kenapa kamu makan Gus, ayam bakar itu pasti sudah didoakan dengan cara-cara mereka.” Dengan santainya Agus menjawab keberatan kakaknya, ” Gitu ya kak, kebetulan kalau begitu kak, sudah didoakan, tadi aku lupa berdoa waktu mau makan ayam bakar ini.”
Apa yang bisa kita simpulkan dari kisah Agus dan Budi ini? Agus punya pikiran yang terbuka. Ia tidak mau menghakimi dan memandang rendah mereka yang berbeda agama dengan dirinya. Itulah sebabnya, ia tidak keberatan makan ayam bakar pemberian tetangganya. Ia tidak membuat sekat religius yang membatasi perjumpaan antara mereka yang berbeda agama. Sebaliknya, Budi punya pikiran yang tertutup. Ia dengan mudah menghakimi dan memandang rendah mereka yang berbeda agama dengan dirinya. Itulah sebabnya, ia menegur adiknya karena makan ayam bakar tersebut. Ia membuat sekat religius yang membatasi antara mereka yang berbeda agama.
Bangsa Indonesia akan cepat hancur kalau warga negaranya memandang segala yang berbeda dengan dirinya dianggap musuh dan harus diperlakukan diskriminatif. Perbedaan yang ada, tidak perlu disikapi dengan memandang pihak lain yang berbeda dengan dirinya dengan sikap permusuhan-hostilitas melainkan dengan keterbukaan, persahabatan, dan kehangatan hospitalitas. Bayangkan jika pada waktu itu, pengikut Kristus terus menerus terpapar xenophobia, tentu banyak orang asing tidak nyaman dalam mengenal iman dan kepercayaan kristiani. Tentu saja, hospitalitas tidak terbatas bagi keluarga-keluarga Kristen saja, tetapi juga bagi keluarga-keluarga beragama lain. Mari bersikap tidak diskriminatif terhadap sesama betapapun kita berbeda suku, agama, dan golongan. Amin.
Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/