Pokok Pokok Ajaran Gereja
POKOK-POKOK AJARAN GKJ
Cetak PPAG 2019 Uraian
Cetak PPAG 2019 Tanya Jawab
Untuk membantu memahami dengan baik buku Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPA GKJ), perlu terlebih dahulu disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Status PPA GKJ Sebagai Dokumen Gerejawi
Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (selanjutnya disingkat: PPA GKJ) disahkan dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996. Dengan demikian dokumen ini memperoleh status resmi gerejawi, yang memuat isi kepercayaan gereja dan pedoman hidup bagi warga gereja. Dokumen ini dinyatakan berlaku sejak disahkan dan baru akan berubah status apabila dikehendaki oleh gereja-gereja, melalui suatu keputusan Sidang Sinode GKJ di waktu yang akan datang.

Latar Belakang Penyusunan PPA GKJ
Sejak kelahiran GKJ sebagai suatu sinode gereja pada tanggal 17 Februari 1931 GKJ memberlakukan kitab Piwulang Agami Kristen, yang berlaku sebagai buku pedoman kepercayaan dan pedoman hidup di lingkungan GKJ sampai tahun 1996. Setelah mempergunakan dokumen warisan selama 65 tahun, GKJ merasa perlu untuk menggantikan dokumen warisan itu dengan suatu dokumen yang dihasilkannya sendiri sebagai wujud kemandirian sembari menjawab kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sangat mendesak.

Langkah penting ini seperti disebut dalam Pengantar PPA GKJ edisi 1997 diuraikan sebagai berikut. Sejak 1984, dalam Sidang Sinode XVII terungkap bahwa GKJ menghendaki untuk menyusun ajarannya sendiri. Adapun sebab-sebab yang diketengahkan adalah: Pertama, sebagai gereja yang mandiri GKJ perlu menentukan sendiri ajarannya. Kedua, sesuai dengan sifat dan status mandiri atau kedewasaannya, warisan yang diterima itu harus dikaji kembali dengan sikap kritis. Ketiga, kekritisan itu dilakukan dengan cara mempertanyakan warisan itu berdasarkan Alkitab. Kalau ternyata ada penafsiran yang tidak sesuai dengan penafsiran yang bertanggungjawab terhadap Alkitab, maka warisan itu perlu diubah. Sementara yang sesuai tetap dipertahankan. Keempat, karena tantangan yang dihadapinya adalah konkret, maka ajaran yang dirumuskan harus dapat menjadi pegangan yang relevan dalam menjawabnya.

Alasan-alasan tersebut di atas dapat difahami oleh karena Katekhismus Heidelberg itu telah disusun dalam waktu yang berbeda tiga setengah abad, di negeri yang berbeda dan untuk memenuhi kebutuhan serta menjawab tantangan yang berbeda pula. Seperti tercatat dalam sejarah gereja, Katekhismus Heidelberg disusun oleh dua orang teolog dari Heidelberg, yaitu Zakharias Ursinus dan Caspar Olevianus, pada tahun 1562, berdasarkan pola pemikiran Yohanes Calvin, reformator gereja dari Geneva, Negeri Swis. Pada tahun 1563, atas kehendak raja wilayah Friedrich III, diterima sebagai pedoman ajaran gereja di negara bagian Pfalz, Jerman bagian Barat.

Katekhismus Heidelberg ini kemudian juga diterima oleh gereja-gereja Calvinis di Negeri Belanda, bersama dokumen-dokumen lain hasil perumusan gereja-gereja di Negeri Belanda, berdasarkan pergumulan-pergumulan yang mereka alami pada Abad ke-17 itu. Agenda pemikiran gereja, dalam hal ini gereja Calvinis Belanda adalah konsolidasi gereja menurut faham Calvinisme, dalam konteks reformasi gereja yaitu berhadapan dengan faham Roma Katolik. Konteks makronya adalah Eropa Barat, yang hampir seluruhnya menganut agama Kristen, sementara faktor agama-agama lain belum diperhatikan karena belum menjadi masalah yang konkret bagi mereka. Konteks global masih sangat terbatas, karena komunikasi belum berkembang. Masyarakatnya baru mengenal kereta kuda dan kapal layar, belum ada mobil, pesawat terbang dan radio. Ilmu Pengetahuan dan Filsafat sedang bertumbuh pada taraf awal sejarah modern, yang didominasi oleh tahap pemikiran mitis maupun ontologis yang muncul kemudian.

GKJ lahir di awal abad ke-20, melintasi zaman kolonial, penjajahan Jepang dan perjuangan kemerdekaan. Di zaman modern pasca kolonialisme ini, yaitu zaman kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah setelah Perang Dunia II, telah terjadi perubahan-perubahan mendasar. Indonesia kini bukan lagi bangsa terjajah, tetapi berdiri sederajat dengan bangsa-bangsa lain, yang menghargai persamaan dan keadilan.

GKJ hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk menurut anutan agama dan aliran kepercayaan, yaitu agama Islam, Kristen (Protestan/ Katholik) dengan berbagai denominasi dan aliran di mana GKJ berada di dalamnya, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu, serta berbagai kepercayaan dan aliran-aliran lainnya.

Di samping itu, GKJ yang mempunyai nuansa etnis dan kultural, juga merupakan bagian dari kemajemukan suku-suku bangsa dan bahasa di Indonesia. Menurut para ahli ada lebih dari 400 bahasa lisan yang dipergunakan di seluruh Indonesia, berikut keanekaragaman adat dan budayanya. GKJ berada dalam suatu masyarakat yang bersifat “Bhinneka Tunggal Ika” yang harus mengembangkan suatu cara hidup bersama tersendiri di tengah masyarakatnya.

GKJ hidup dalam zaman perkembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan munculnya teknologi yang menyebabkan revolusi komunikasi. Pesawat-pesawat terbang besar tanpa henti menyediakan transportasi antar benua yang amat cepat; kapal-kapal angkut raksasa memindahkan ratusan ribu ton muatan ke segala pelosok dunia. Radio-satelit memungkinkan orang berbicara antar benua, seperti dengan tetangga sebelah rumah. Program-program televisi menyeruak menembus dinding-dinding kamar tidur. Teknik pendidikan yang memanfaatkan sarana audio-visual dan komputer memungkinkan murid-murid semakin cerdas dan trampil. Globalisasi menerpa kehidupan di seluruh dunia. Dunia seakan-akan berubah menjadi satu desa yang besar, tanpa dapat dibendung.

Dengan demikian dapat difahami timbulnya keinginan GKJ untuk mengkaji kembali warisan ajarannya, yang berasal dari tempat dan waktu yang demikian jauh berbeda. GKJ kini menghadapi dunia yang lain sama sekali dari dunia Jerman dan Belanda pada Abad ke-17, tatkala warisan ajarannya dirumuskan. Oleh sebab itu GKJ berusaha untuk bertindak sebagai umat Allah yang bertanggung jawab untuk berfungsi dalam karya penyelamatan Allah, yaitu bersaksi.

Proses Penyusunan PPA GKJ
Sejak timbul keinginan GKJ untuk menyusun ajarannya sendiri seperti yang terekam dalam Akta Sinode XVI GKJ 1981 artikel 47, ada suatu prakarsa yang muncul di lingkungan Klasis Salatiga. Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th. mempersiapkan naskah awal yang diterima oleh Klasis Salatiga, yang kemudian diusulkan sebagai naskah awal PPA GKJ. Sidang Sinode Kontrakta 1992 membentuk Tim Pokok-pokok Ajaran GKJ, dengan Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th. sebagai konvokator; Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th. sebagai anggota, dibantu oleh 9 anggota yang lain, yaitu: Pdt. Widjojo Hadipranoto, BD., Pdt. Dr. Kadarmanto Hardjowasito, Th.M., Pdt. Djaka Soetapa, D.Th., Pdt. Sularso Sopater, D.Th., Dr. J. Sardi, Sunarso, M.Sc., Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th., Pdt. Humphrey Sudarmadi K., S.Th., Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. dan Hadi Purnomo, SH.

Hasil pekerjaan Tim PPA GKJ dilaporkan kepada Sidang Sinode XXI, dan memperoleh pembahasan intensif. Sidang ini kemudian membentuk Tim baru, untuk melanjutkan pekerjaan Tim lama, sambil menampung usul-usul yang masuk dalam sidang sinode tersebut. Tim ini diketuai oleh Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th, sekretaris: Pdt. Drs. Sukardi Citro Dahono, anggota: Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th., Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. dan Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th. Di samping itu dibentuk Tim Pembaca terdiri dari 4 orang, yaitu: Pdt. Dr. Sularso Sopater, Pdt. Iman Sugiri, S.Th., Pdt. Bambang Mulyatno, S.Th., M.Si., Pdt. David Rubingan, M.Th. dan seluruh Klasis di lingkungan Sinode GKJ.

Setelah melalui suatu proses panjang, yaitu 12 tahun, pada akhirnya dalam Sidang Sinode Terbatas tahun 1996, PPA GKJ diterima dan disahkan sebagai suatu dokumen gerejawi yang bersifat mengikat. Meneruskan tradisi lama, semua pejabat gereja, tatkala diteguhkan dalam jabatan (tua-tua dan diaken) atau ditahbiskan (pendeta) membubuhkan tanda tangan mereka sebagai pernyataan dan janji bahwa dalam melakukan tugas jabatan gerejawi serta menjalani hidup sehari-hari mereka akan setia berdasarkan Alkitab seperti yang diterangkan dalam PPA GKJ tersebut.

Penyederhanaan dan Penyempurnaan Sebagian Isi PPA GKJ
Sejak dipergunakannya PPA GKJ mulai tahun 1996, timbul reaksi positif dan negatif dari lapangan. Ada yang berpendapat bahwa PPA GKJ 1996 ini telah memenuhi kebutuhan “masa kini”-nya GKJ, dan sudah sesuai untuk menjawab tantangan-tantangan yang konkret dari konteksnya. Ada pula yang berpendapat bahwa cara penyajiannya sangat akademis, sehingga warga yang berpendidikan sederhana mengalami kesulitan untuk memahami.

Masalah seperti ini merupakan hal yang wajar dalam proses. Usul-usul dan saran-saran ditampung oleh Sidang-sidang Sinode pasca 1996, dan dibentuk Tim guna menampung sumbang saran untuk kesempurnaan PPA GKJ.

Dalam Sidang Sinode Antara GKJ Tahun 2000 (Artikel 54), Sidang memutuskan menugasi Deputat Keesaan untuk membentuk Tim Revisi PPA GKJ dengan tugas:

  • Menyempurnakan sebagian isi.
  • Menyerderhanakan bahasa.
  • Menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa (krama madya)
  • Menyusun buku penjelasan.
  • Tim tersebut terdiri dari: Pdt. Simon Rachmadi, M.Hum. (Ketua), Pdt. Aris Widaryanto, S.Th. (Sekretaris), Pdt. Broto Semedi Wirjotenojo, S.Th., Pdt. P. Pudjaprijatma, S.Th., Pdt. Djimanto Setyadi, S.Th, dan Pdt. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th.

    Dalam Sidang Sinode XXIII GKJ di Wonogiri Tahun 2002, Deputat Keesaan melaporkan bahwa Tim yang telah dibentuk tersebut belum dapat menyelasaikan tugasnya. Oleh karena itu Sidang kembali menugasi Deputat Keesaan untuk mengangkat Tim Revisi PPA GKJ yang baru dengan tugas yang sama (Artikel 23).

    Personalia Tim terdiri dari: Pdt. Andreas Untung Wiyono, S.Th. (Ketua), Pdt. Aris Widaryanto, S.Th. (Sekretaris), Pdt. Sularso Sopater, D.Th., dan Pdt. Bambang Mulyatno, M.Si. Adapun hasilnya dilaporkan dan dibahas dalam Sidang Sinode Non-Reguler GKJ di Bandungan – Ambarawa tahun 2005.

    Penyesuaian Beberapa Bagian PPA GKJ Edisi 2005
    Melalui Sidang Raya Reformed Ecumenical Council (REC) tahun 2000 di Yogyakarta, Sinode gereja-gereja anggota diingatkan kembali pada keputusan sidang raya sebelumnya mengenai “Keikutsertaan Warga Gereja Anak yang Sudah dibaptis dalam Sakramen Perjamuan”. Sejak saat itu GKJ menggumuli masalah tersebut dan membahasnya dalam Sidang Sinode XXIV GKJ Tahun 2006 di Wirobrajan, Yogyakarta. Dinamika pergumulan gereja-gereja terus berlanjut sebagaimana nyata dalam artikel akta Sidang-sidang Sinode berikutnya sampai dengan Sidang Sinode XXVII GKJ di Lembang, Jawa Barat.

    Seiring dengan pergumulan gereja-gereja tentang “Keikutsertaan Warga Gereja Anak yang Sudah dibaptis dalam Sakramen Perjamuan”, muncul pergumulan berikutnya terkait potret keberagaman GKJ, teologi jabatan, teologi sosial, dan gerakan ekumene melalui bidang peribadatan. Atas semua pergumulan tersebut Sidang Sinode XXVI GKJ memutuskan perlunya revisi menyeluruh dokumen Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ (TGTL GKJ) hingga berhasil dilakukan serta disahkan pada Sidang Sinode Istimewa GKJ tahun 2015 di Prambanan. Selanjutnya persidangan tersebut (dikuatkan dalam Sidang Sinode XXVII GKJ 2016 di Lembang, Jawa Barat) menugasi Bapelsin XXVII GKJ melalui “Komisi Ajaran, Tata Gereja-Tata Laksana dan Liturgi Sinode GKJ” melakukan penyesuaian atas dokumen PPA GKJ Edisi 2005 yang hasilnya sebagaimana ada di dalam buku ini.

    Kesinambungan dan Perubahan
    GKJ melanjutkan pilihan untuk berjalan pada jalur tradisi reformasi gerejawi Abad 16. Walaupun Katekhismus Heidelberg telah diganti oleh PPA GKJ 1996, namun inti ajaran Katekhismus Heidelberg tetap dipelihara dalam PPA GKJ, yaitu bahwa keselamatan manusia itu hanya karena anugerah Allah (sola gratia), melalui Kristus saja (solo Christo), yang diterima hanya melalui iman (sola fide), sumber ajaran gereja hanyalah dari Alkitab (sola scriptura).

    GKJ dalam kemandirian untuk menjawab tantangan konteks konkretnya serta perubahan zaman dan kebudayaan yang dialaminya, mengembangkan pemikiran baru dalam mengambil sikap terhadap agama dan kepercayaan lain yang ada di sekitarnya. Mengenai perkembangan IPTEK, GKJ menyadari bahwa mustahil untuk mendesak para warganya yang sebagian adalah para ilmuwan untuk “percaya tanpa bertanya”, sehingga perlu mengembangkan sikap secara baru. Sementara itu sebagai bagian dari bangsa dan negara Republik Indonesia yang sedang berkembang dan membangun jati-diri, GKJ juga menentukan pokok-pokok sikapnya terhadap negara secara kritis.

    Pendekatan
    Dalam penyusunannya PPA GKJ memilih pendekatan soteriologis (berkenaan dengan keselamatan). Dari awal sampai akhir pokok mengenai keselamatan sangat ditekankan. Hal tersebut dapat kita temukan dari kata-kata kunci: selamat, keselamatan, dan kata-kata yang bertautan dengan keselamatan yang tersebar di seluruh dokumen ini. Misalnya : warga gereja sebagai orang yang sudah diselamatkan, kesempurnaan keselamatan, penyelamatan Allah, Allah Sang Juru Selamat, karya penyelamatan-Nya, penghayatan keselamatan, sejarah penyelamatan Allah, kondisi tidak selamat, tidak mampu menyelamatkan diri, asas-asas penyelamatan Allah, masa penyelamatan, mempertahankan keselamatan, perjalanan keselamatan, tanda-tanda penyelamatan, terpelihara keselamatannya, diselamatkan oleh penyelamatanNya dan sebagainya.

    Adapun “benang merah” pemikiran soteriologisnya tergambar melalui pokok-pokok pikiran: bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi serta manusia dalam keadaan baik. Namun manusia jatuh ke dalam dosa sehingga manusia berada dalam kondisi tidak selamat. Karena kasih dan anugerahNya, Allah berkenan menyelamatkan manusia melalui karya penyelamatan-Nya. Karya penyelamatan Allah itu teranyam di dalam sejarah kehidupan manusia, dan dilakukan dengan cara membangun kembali hubungan yang harmonis melalui pengampunan dosa. Sejarah penyelamatan Allah tersebut berpusat pada tiga peristiwa yang utuh dan berkesinambungan, yaitu peristiwa bangsa Israel, peristiwa manusiawi Yesus dan peristiwa Roh Kudus.

    Pada akhirnya sejarah penyelamatan Allah melalui pengampunan dosa yang terjadi karena karya penebusan Kristus itu, diluaskan kepada segala bangsa sampai akhir zaman. Gereja sebagai umat milikNya ditugasi untuk bersaksi tentang penyelamatan Allah.

    Pilihan untuk memilih pendekatan soteriologis ini tentu membawa konsekuensi tersendiri, karena hasilnya tentu berbeda dengan apabila dipilih pendekatan lain. Misalnya: perubahan dalam penjelasan mengenai ketritunggalan Allah, mengenai tugas-tugas gereja dan sebagainya. Nampaknya pendekatan ini dipilih oleh karena tahap berfikir secara fungsional pada waktu ini, lebih dapat diterima oleh manusia yang hidup di zaman modern. Apabila benar demikian – seperti dapat disimpulkan dari persetujuan sidang Sinode Terbatas 1996 – maka para utusan gereja ke sidang tersebut telah memilih cara berfikir secara modern.

    Bahwa timbul ketidaksetujuan dari sebagian warga gereja, haruslah diterima sebagai kenyataan di lapangan, oleh karena tidak seluruh warga GKJ siap untuk berolah-fikir secara modern secara serentak dan serta merta. Menjadi penting bagi GKJ untuk memberi peluang bagi usaha untuk saling mengerti. Harus diakui bahwa ada tahap-tahap berfikir dalam sejarah kebudayaan, dan perbedaan-perbedaan tahap berfikir ini mempengaruhi cara orang memahami masalah-masalah. Oleh sebab itu dikembangkan usaha untuk memahami dan saling memahami, sehingga PPA GKJ 1996 dapat menjadi alat bantu dalam memacu GKJ menjadi saksi yang lebih berdaya guna pada awal Abad ke-21 ini.

    Perkembangan Tahap-tahap Berfikir dalam Sejarah Kebudayaan
    Prof. Dr. C.A. van Peursen, dalam bukunya: Strategi Kebudayaan mengetengahkan upaya untuk memahami perkembangan cara berfikir manusia melalui suatu bagan tiga tahap. Adapun tahap-tahap yang dimaksudkan adalah tahap mitis, tahap ontologis dan tahap fungsional.

    Tahap mitis tercermin dalam mitologi-mitologi dari bangsa-bangsa yang sering dinamakan bangsa primitif, yang pada dasarnya mengungkapkan sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan. Alam fikiran mitis bergetar apabila berhadapan dengan daya purba dan mengakui bahwa ada sesuatu. Manusia merasa dirinya merupakan bagian dari keseluruhan yang mengitarinya, pola pikir yang dikembangkannya bersifat partisipatif. Mantera dan magi merupakan hal dominan pada tahap ini.

    Tahap ontologis mengungkapkan sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia lalu menyusun teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu itu (ontologi), dan rincian-rincian dari segala sesuatu itu (=ilmu-ilmu). Tahap ini berkembang dalam Kebudayaan Kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Di Barat misalnya pada zaman Yunani Kuno tatkala filsuf-filsuf yang terkenal berkarya, yaitu Anaxagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles; sementara di Timur beberapa mazhab Vedanta dari India mencerminkan tahap ini.

    Pada tahap ini manusia berusaha membuat peta mengenai segala sesuatu, menggali sebab musabab terjadinya segala sesuatu, menyajikan pengetahuan sistematis yang dapat dikontrol. Manusia sebagai subyek mengambil jarak (distansi) dari segala sesuatu yang menjadi obyek penelitiannya. Manusia berusaha mengetahui mengenai hakikat segala sesuatu, mengetahui apa-nya. Dalam diskusi teologi mengenai ontologi tradisional, orang berusaha untuk membuktikan adanya Tuhan. Tuhan dikaji tentang hakekat dan keberadaanNya lepas dari subyek manusia, lepas dari kebertautan langsung dengan eksistensi yang ia hayati.

    Tahap fungsional, nampak dalam manusia modern. Ia tidak terpesona oleh lingkungannya (=mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (=ontologis), tetapi ia ingin mengadakan relasi-relasi baru dengan segala sesuatu dalam lingkungannya. Ia mengutamakan pertanyaan : bagaimana dalam kaitan dengan segala sesuatu; ia tidak bertanya mengenai adanya barang-barang itu, tetapi bertanya mengenai artinya bagi dia, yaitu cara sesuatu itu dialami dan diintegrasikan dalam hidupnya. Manusia ingin mengubah dunia, kehidupan sosial ditandai oleh unsur arti dan pengelolaan. Ia menyukai sistem yang terbuka, segala sesuatu dilihat bukan sebagai sesuatu yang bulat dan tertutup (=ontologis), tetapi sebagai yang selalu bergerak, sebagai proses.



    Bagan tiga tahap atau ketiga sikap dasar seperti diuraikan di atas sebenarnya hanya merupakan suatu skema, atau sebuah sarana untuk membantu kita. Kalau disebut tahap tidak lalu diartikan tahap secara harafiah, yaitu perkembangan bertingkat di mana tahap yang satu digantikan oleh tahap berikutnya. Pada kenyataannya kita tidak boleh lupa bahwa semua tahap perkembangan cara berfikir manusia itu terdapat dalam kita semua, bahkan dalam kita masing-masing. Yang dipentingkan dalam bagan ini ialah aksen-aksen yang bergeser, strategi-strategi yang berbeda-beda dari masing-masing tahap. Apa yang disebut sebagai manusia primitif dengan dongeng-dongeng mitisnya, maklum juga mengenai hal-hal yang praktis-teknis, dia pun dapat mendekati sesuatu secara fungsional. Sebaliknya kita dalam masyarakat modern tidak lepas dari unsur-unsur magis. Kita pun dapat dipengaruhi oleh mitos-mitos pengarang-pengarang besar yang serba mendalam atau oleh ideologi-ideologi politis. Sekalipun ada kemajuan-kemajuan teknis, medis dan ilmiah, tetapi sejarah kebudayaan manusia tidak dengan sendirinya memperlihatkan suatu garis yang menanjak (linier).

    Penutup
    Seperti telah disinggung di atas, PPA GKJ 1996 telah dipersiapkan dan disusun untuk memenuhi kebutuhan GKJ yang hidup di zaman modern, sehingga lebih memberikan tekanan pada pendekatan fungsional. Ketritunggalan Allah oleh sebagian besar warga GKJ tetap dirasakan perlu untuk disebut. Di dalam PPA GKJ 1996 hal tersebut disajikan bukan dalam bentuk ulangan rumusan-rumusan klasik dari Konsili-konsili Nicea-Konstantinopel (Abad ke-4 M.). Kristus tidak lagi diuraikan mengikuti rumusan Konsili Chalcedon (Abad ke-5 M.) yang sesuai dengan perkembangan pemikiran pada zaman itu yang bersifat ontologis, tetapi diuraikan secara baru sesuai dengan pendekatan fungsional. Dengan cara demikian, dialog dengan masyarakat luas, yang sebelumnya sulit memahaminya, diharapkan dapat lebih mudah dilakukan. Sebab Ketritunggalan Allah itu lebih dikaitkan pada Allah yang berkarya bagi keselamatan manusia. [Lihat PPA GKJ 1996 Pertanyaan-Jawaban (P-J) 52; buku ini: P-J 42].

    Gereja juga diuraikan secara fungsional, dengan diawali oleh suatu uraian dengan memperhatikan fenomenologi Agama, lalu diteruskan dengan uraian lanjutan yang memperhatikan hubungan dengan masyarakat keagamaan Indonesia yang bersifat majemuk (Lih. P-J 81 dst., 242 dst.; buku ini: P-J 71 dst., 202 dst.). Selanjutnya PPA GKJ mendedikasikan Minggu ke-9 untuk membahas Fungsi Gereja (buku ini: Tugas Panggilan Gereja).

    Perhatian terhadap relasi/hubungan antara kehidupan orang percaya dengan dunia, alam, negara, ilmu pengetahuan dan teknik diberi tempat secara panjang lebar dalam PPA GKJ. P-J 152 (buku ini: P-J 12, 32, 33) menjelaskan bahwa penyelamatan Allah berlangsung dalam anyaman bersama dengan kehidupan manusia di dunia. P-J 175 dst. (buku ini: P-J 150 dst.) menjelaskan mengenai menyikapi masalah hubungan manusia dengan alam dan tugas manusia sebagai mandataris Allah terhadap alam yang harus dilakukan dengan bertanggungjawab. P-J 191 (buku ini: P-J 167) membicarakan mengenai bagaimana orang percaya memfungsikan akal budinya dalam mengolah ilmu pengatahuan, teknologi dan teknik. P-J 194 (buku ini: P-J 169) membahas bagaimana fungsi iman itu dibutuhkan agar manusia bermartabat manusia. P-J 216 (buku ini: P-J 186) membicarakan mengenai fungsi dasar kekuasaan negara. P-J 225-227 (buku ini: P-J 187) membahas mengenai martabat manusia dan Hak-hak Asasi Manusia. Contoh-contoh di atas menjelaskan tentang bagaimana pendekatan fungsional sangat mengemuka dalam PPA GKJ ini.

    Namun, seperti juga telah diuraikan di atas, tidak semua warga GKJ dapat mengikuti alur fikiran tahap fungsional dengan serta merta. Ada yang belum mampu mengubah paradigma berfikir sehingga masih ingin mempertahankan yang lama. Menjadi penting bagi semua warga GKJ untuk memberi tempat kepada perbedaan-perbedaan cara memahami kebenaran, tanpa mengorbankan inti iman Kristen, sementara tetap memelihara ikatan cinta kasih, sebagai warga keluarga Allah dalam Kristus.

    Dapat dicatat bahwa akhir-akhir ini sebagai reaksi terhadap filsafat modern muncul aliran filsafat yang di disebut filsafat post-modern (=pasca modern). Aliran ini bersikap kritis terhadap netralitas dan kedaulatan akal budi. Ia menolak asumsi adanya “kata-kata terakhir yang menentukan”, yaitu menolak rumusan prinsip-prinsip, pembedaan-pembedaan dan kategori-kategori, yang dipandang mengikat tanpa syarat, bagi segala waktu, orang dan tempat. Ia juga menolak “mimpi tradisional” mengenai adanya sistem penjelasan yang lengkap, unik dan tertutup (cf. Cambridge Dictionary of Philosophy, s.v.”Postmodernism”).