Artikel GKJ Kronelan

1 Tesalonika 1 : 1-10, Di usia 20 th an seringkali dirasakan banyak orang sebagai usia yang terberat. Mengapa demikian? Hal ini sebenarnya telah menjadi kajian banyak ilmuwan, seperti halnya dengan seorang Psikolog bernama Jeffrey Arnett yang mendefinisikan periode hidup di usia 18 – 29 sebagai Emerging Adulthood—masa transisi. Usia yang tidak dapat dikatakan remaja lagi, tetapi juga belum sepenuhnya dewasa. Di usia tersebut pencapaian Well-being dirinya masih lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa.

Melalui fakta dan persoalan di atas apakah yang dapat dilakukan oleh keluarga? Langkah yang perlu dilakukan adalah bagaimana adanya upaya untuk meningkatkan Well-being setiap anggota keluarga. Well-being diyakini dapat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Lebih jauh, emosi positif yang dihasilkan seseorang akan membuat kondisi mental lebih baik dan optimis Dengan demikian keluarga bertindak sebagai support system dengan menunjukkan dukungannya pada setiap anggota keluarga. Seperti halnya penderitaan yang sedang dialami oleh jemaat di Tesalonika, Paulus sebagai bagian dari ‘keluarga’ mereka (ay.4 kata yang digunakan: Saudara-saudara!) menunjukkan dukungannya terhadap jemaat melalui surat tersebut. Dukungan tersebut nampak melalui [1] di dalam kehidupan doanya Paulus senantiasa mengingat jemaat diTesalonika. [2] Paulus menyatakan rasa bangganya dalam syukurnya pada Allah karena apa yang telah dilakukan oleh jemaat di Tesalonika dan karya Allah terhadap mereka.

Melalui kedua hal di atas, setidaknya kita dapat belajar seperti Paulus. Pertama, doa merupakan cara yang tepat untuk mendukung setiap anggota keluarga. Di dalam doa terkandung pemahaman bahwa Allah adalah dasar dan titik awal segala-galanya Oleh karena itu, Pemilik Sejati setiap anggota keluarga adalah Allah. Maka dengan berdoa kita mengakui kedaulatan Allah sebagai pemilik anggota keluarga. Dalam doa pun kita dapat bersyukur dan memohon perlindungan atas setiap anggota keluarga. Bukankah kita memiliki keterbatasan dalam mendampingi anggota keluarga? Kita tidak dapat berada bersama mereka untuk menemani, menjaga selama 24 jam penuh. Bukankah hanya Allah yang mampu ada bersama-sama dalam setiap detik perjalanan hidup mereka.

Dengan kesadaran mengenai doa inilah maka mendukung melalui doa sejatinya menjadi habit yang dapat dihidupi dan diandalkan oleh setiap anggota keluarga. Kedua, rasa bangga dan syukur yang diekspresikan adalah bahasa cinta yang perlu dinyatakan pada anggota keluarga. Paulus setidaknya mencontohkan bagi kita melalui suratnya kepada jemaat di Tesalonika dengan melakukan kategori yang pertama. Meminjam teori Gary Chapman, kita tentunya dapat melatih kebiasaan untuk menyatakan dukungan kepada setiap anggota keluarga sesuai dengan bahasa kasih setiap orang. Dengan demikian kita sedang membangun support system yang baik bagi setiap anggota keluarga.

Di saat anggota keluarga membutuhkan pertolongan maka mereka akan datang terlebih dahulu kepada anggota keluarga lainnya. Seperti halnya jemaat di Tesalonika yang mengalami pergumulan yang tidak mudah, Paulus memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka. Paulus menggunakan bahasa kasih dalam menuntun jemaat untuk menghadapi pergumulan yang dialami. Bukankah demikian pula dengan kita, setiap anggota keluarga perlu merasa dicintai! Setiap anggota perlu diperlakukan sebagai orang yang dicintai. Bukankah dengan cara kita memperlakukan mereka dengan cinta bukan hanya untuk mendukung mereka, tetapi mereka pun akan merasakan bahwa Allah mencintai setiap anggota keluarga. Lebih jauh, setiap anggota keluarga akan kembali menaikkan syukur dalam doa dan sikap hidup sehari-hari. Selamat membangun kebiasaan mendukung dan berdoa. Tuhan menolong setiap keluarga. Amin.

Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/

By Admin