Lukas 12 : 13-21. Ibu, Bapak, saudara dan sahabat-sahabat yang saya kasihi, Socrates, sang filsuf Yunani, menegaskan, “Kehidupan yang tidak dijalani dengan saksama, tidaklah layak dijalani.” Sang filsuf berharap, setiap orang menjalani hidupnya secara kritis dan sungguh sungguh, dengan determinasi atau keteguhan sikap, agar kehidupan tidak lewat begitu saja dan menjadi sia-sia.
Pernahkah kita terpikir bahwa kehidupan ini bisa saja menjadi sebuah kesia-siaan? Kita bangun pagi, berangkat kerja, berlelah lelah di kantor, di sekolah, di pabrik, di pasar, di jalan, di rumah, atau di mana pun kita bekerja/berkarya, lalu kembali pulang, beristirahat dan tidur di malam hari, untuk esoknya kembali melakukan hal yang sama lagi, lagi dan lagi. Untuk apa sih itu semua kita lakukan? Untuk sekadar bertahan hidup di dunia yang keras ini? Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang selalu saja bertambah dan tiada habisnya sampai akhir hayat? Ataukah untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan harapan bahwa suatu saat kita akan mencapai “kebebasan finansial” seperti yang digembar-gemborkan oleh para motivator? Atau, untuk apa kita menjalani berbagai aktivitas dalam kehidupan kita?
Umat yang dikasihi Tuhan, Pengkhotbah mengatakan, “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin”. Kata “kesia-siaan” muncul sejak dari pasal pertama hingga pasal terakhir di kitab Pengkhotbah. Boleh dikatakan, kata tersebut adalah “kata kunci” kitab kebijaksanaan ini.
Pengkhotbah memang termasuk dalam kelompok kitab-kitab sastra dan hikmat, walau cara penulis menyampaikan kebijaksanaan itu sungguh unik. Alih-alih menyampaikan kalimat-kalimat rohani bernuansa positif, Pengkhotbah mengajar para pembacanya melalui refleksi-refleksi yang bernuansa negatif, gelap, dan suram. Senada dengan Pengkhotbah, Pemazmur menggambarkan bahwa baik orang-orang hina maupun mulia, orang – orang kaya maupun miskin, juga orang-orang berhikmat maupun bodoh, pada akhirnya akan menuju lubang kubur, kematian, atau kebinasaan. Harta benda dan kekayaan sebesar apa pun tidak akan bisa menebus atau membebaskan nyawa manusia dari kepastian maut.
Tentunya apa yang disampaikan oleh Pengkhotbah dan Pemazmur benar, jika orang menjalani hidup semata-mata mengejar hal-hal duniawi, tanpa berusaha untuk mencari apa yang dikehendaki Allah. Karenanya, Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose mengajak untuk mematikan segala perbuatan percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat, dan keserakahan, atau “manusia lama”. Mereka telah ditebus oleh Kristus, dan niscaya mengenakan kehidupan baru sesuai nilai-nilai Kristus (manusia baru). Manusia baru merupakan proses di mana pengikut Kristus, “terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya.”
Gambar Sang Pencipta itu ada dalam sosok Yesus Kristus yang menjadi citra baru bagi semua orang. Kemanusiaan yang baru di dalam Kristus mengubah cara hidup dan cara berpikir orang-orang Kristen, sehingga tidak melulu memikirkan hal-hal duniawi (yang memuaskan nafsu dan keinginan pribadi) melainkan mencari “hal-hal yang di atas, di mana Kristus ada” (yang membangun Kerajaan Allah), yaitu belas kasih, kemurahan hati, kerendahan hati, kelemahlembutan, kesabaran dan saling menghargai.
Umat yang dikasihi Kristus, Hari ini kita membuka gelaran Bulan Kebangsaan, yang menjadi momen sekaligus pemantik bagi kita untuk terus menghayati keindonesiaan kita, paralel dengan kekristenan kita. Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita bahwa sebagaimana kehidupan pribadi kita, kehidupan bernegara pun bisa menjadi sia-sia dan “miskin di hadapan Allah” jika yang dikejar oleh pemerintah negeri ini hanya pertumbuhan ekonomi semata- mata, tanpa mengisinya dengan nilai-nilai welas asih, perdamaian dan persatuan, keadilan, kemurahan hati, dan kebahagiaan, serta kemanusiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Mari bersama-sama membangun peradaban yang maju, modern, berkeadilan, dan yang kaya di hadapan Allah. Delapan puluh tahun usia kemerdekaan negara dan bangsa ini tidak boleh hanya dipandang sebagai angka saja, melainkan harus dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk membangun dan menghidupi peradaban baru yang makin memperlihatkan tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di bumi. Amin.
Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/