Artikel GKJ Kronelan

Jemaat kekasih Tuhan, Gereja terdiri orang dengan beragam latar belakang dan karakter, maka beragam pula cara berpikir dan cara pandangnya. Alastair McKay, seorang ahli dalam studi perdamaian dalam konteks gereja, mengungkapkan, dan menemukan beberapa faktor yang turut memicu konflik dalam gereja adalah:

  1. Komunitas gereja berfungsi layaknya sebuahkeluarga besar dengan relasi yang dekat, jika terjadi ketegangan akan menjadi amat sensitif dan berkepanjangan (karena terkait dengan identitas),
  2. Kurang ketatnya pertanggungjawaban dan proses pengambilan keputusan yang baik,
  3. Adanya harapan yang terlalu ideal bahkan kurang realistis terhadap sosok pendeta yang melayani.
  4. Adanya kecenderungan menghindari atau tidak mengakui bahwa sedang terjadi friksi-friksi kecil, yang dampaknya baru dirasakan ketika persoalan ini meletup dan memecah belah jemaat.

Bagaimanakah kita sebagai gereja merespon hal ini?

Jemaat kekasih Tuhan, Dalam bacaan utama Markus 12:28-34, seorang ahli Taurat bertanya kepada Tuhan Yesus ingin mengetahui manakah hukum yang paling utama dari hukum-hukum yang mereka miliki (hukum Taurat). Ahli biblika yang bernama St. Eko Riyadi menyebut bahwa ahli Taurat mengajukan pertanyaan ini karena mengetahui kapasitas Tuhan Yesus yang sebelumnya menjawab dengan tepat pertanyaan orang-orang Saduki perihal kebangkitan (Mrk. 12:18-27). Pertanyaan ini memang seringkali dibahas di kalangan ahli Taurat untuk mengetahui manakah hukum yang lebih berat dan yang lebih ringan, yang utama dan yang dinomorduakan. Ahli Taurat ini mewakili golongan orang-orang Farisi.

Tuhan Yesus menjawab pertanyaan pertama dengan kalimat pembuka dari syema (pengakuan) Israel, “Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa” (Ul. 6:4). Pengakuan Israel ini diucapkan oleh orang Yahudi yang taat dalam beragama, sekaligus menunjukkan kekhasan iman mereka. Ahli biblika yang bernama John Schultz, menyebutkan hukum kasih yang pertama erat kaitan -nya dengan teologi kurban dan persembahan seperti ditulis dalam kitab Imamat.

Ketaatan kepada Allah merupakan wujud kurban dan persembahan kepada-Nya. Schultz melanjutkan, dalam apa yang kita kenal dengan Hukum Kasih, Tuhan Yesus nampak memadukan perintah dalam Ulangan 6:4-5 tentang mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan, dengan bagian dari kitab Imamat 19:18 yang berbunyi, “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, Akulah Tuhan.” Melalui dua intisari tersebut Yesus menunjukkan bahwa kasih kepada Tuhan Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama.

Jawaban Yesus membuat takjub Ahli Taurat yang bertanya. Yesus menunjukkan wujud kurban dan persembahan kepada Tuhan Allah seiring-sejalan dengan hubungan antar- sesama. Pemahaman ini menggemakan kembali pengajaran Yesus dalam Khotbah di Bukit, Matius 5:24 yang berbunyi, “tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahan itu.” Dengan menjawab pertanyaan ahli Taurat di atas Tuhan Yesus menunjukkan tentang hukum yang paling mendasar (prinsip) bagi umat Allah.

Melalui perantaraan darah Kristus, orang percaya sudah didamaikan dengan Allah. Pendamaian ini hendaknya menyucikan pula hati nurani sebagaimana dinyatakan dalam Ibrani 9:11-14. Dengan semangat pendamaian dalam hubungan yang vertikal dengan Tuhan, manusia beroleh sumber untuk hidup dalam damai dengan sesama berdasarkan kasih kepada Tuhan dan sesama. Hal ini merupakan wujud nyata kurban dan persembahan kepada Allah sebagai orang-orang yang setia dan saleh di hadapan Allah, Sang Raja atas semesta (Rut 1 & Mazmur 146).

Jemaat kekasih Tuhan, Sebagai perwujudan kasih kepada Allah dan sesama, kita terpanggil untuk melakukan tindakan nyata yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan terdekat, dan pada saat ini juga. Salah satu bentuk kongkrit kasih itu adalah dalam merespon fenomena kehidupan bergereja yang tidak terelakkan dari konflik. Kasih akan mendorong kita untuk membiasakan diri hidup dalam budaya damai. Widjaja & Kreider (2005) memberikan contoh kongkrit membudayakan damai yang dimulai dengan berhenti menyalah-nyalahkan pihak lain, membicarakan masa lalu seseorang, dan menebarkan kebencian dengan membangun opini negatif seseorang apalagi jika dibumbui dengan argumen-argumen ayat Alkitab. Serta kita diajak untuk mengembangkan kerendahan hati, komitmen pada kebaikan dan keselamatan bersama serta tetap berpengharapan di dalam Tuhan. Amin.

Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

16 + thirteen =