Artikel GKJ Kronelan

Jemaat yang dikasihi Tuhan, Menarik untuk memperhatikan bacaan utama dalam Injil Markus 9:38-50 yang merupakan kelanjutan dari perkataan Tuhan Yesus tentang bagaimana menyambut anak-anak dalam nama-Nya. Dikisahkan ada seseorang yang menggunakan nama Yesus untuk mengusir setan. Beberapa ahli biblika melihat bahwa orang tersebut kemungkinan memiliki setidaknya pengetahuan atau bahkan pengalaman berjumpa dengan Yesus sehingga ia dapat mengusir setan dan melakukan mujizat dalam namaNya. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah salah seorang dari murid Yohanes Pembaptis.

Yang menarik adalah bagaimana respon para murid Yesus terhadap tindakan yang dilakukan ini. Ada kecenderungan para murid menolak tindakan tersebut karena orang ini dianggap bukan berasal dari kalangan murid Yesus. Sikap yang demikian dapat disinyalir sebagai kecenderungan Manichean Mindset, yakni pandangan yang menganggap kelompok sendiri (in-group) sebagai yang paling baik, benar, suci, dan unggul, dan sebaliknya kelompok lain (out-group) sebagai yang tidak baik, tidak benar, tidak suci, dan buruk. Kecenderungan ini seringkali menyebabkan kebanggaan yang berlebihan terhadap kelompok sendiri dan memandang rendah kelompok lain, bahkan pada level yang ekstrim memicu padangan dehumanisasi (menganggap orang lain bukan sebagai manusia) pada kelompok yang berbeda.

Tuhan Yesus nampak tidak memiliki pandangan yang sama dengan para murid itu. Yesus tidak menuntut bahwa segala seuatu yang dilakukan dalam namaNya harus disertai dengan kesamaan identitas. Tuhan Yesus tidak menuntut keharusan kesamaan identitas kelompok itu untuk dapat melakukan mujizat dalam namaNya. Seorang ahli biblika yang bernama John Schultz menyebut bahwa fakta roh-roh jahat bereaksi seperti itu terhadap pengusiran setan yang dilakukan dalam Nama Yesus oleh orang percaya yang tidak dikenal itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan orang tersebut adalah dapat diterima. Orang tersebut tidak mungkin melakukan mukjizat di dalam Nama Yesus tanpa iman kepada Nama itu. Identitas bisa berbeda, namun ketika ada kesamaan dalam iman dan keyakinan dalam Tuhan Yesus, maka sesungguhnya, “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (ay. 40).

Pesan pamungkas dalam perikop ini tertulis di ayat 50, yang berbunyi, “Garam memang baik, tetapi jika garam menjadi hambar, dengan apakah kamu mengasinkannya? Hendaklah kamu selalu mempunyai garam dalam dirimu dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain.” Ayat ini menekankan hidup orang percaya yang digambarkan dengan adanya garam dalam diri. Garam itu mempunyai sifat yang dapat meresap pada masakan maupun dapat mengawetkan dan memurnikan. Dengan menggunakan perumpamaan garam ini, Tuhan Yesus mengajarkan agar para murid selalu hidup berdamai dengan semua orang, baik dengan identitas yang sama maupun yang berbeda, yang mana hal positif ini dapat meresap dan memurnikan di manapun para murid berada.

Jemaat yang terkasih, kita sebagai orang percaya dipanggil untuk memiliki “garam” dalam diri yang menjadi sumber bagi kita untuk hidup berdamai dengan semua orang dari berbagai latar belakang dan identitas. Kita perlu mengingat bagaimana penyertaan dan pemeliharaan Tuhan Allah bagi umatNya dalam kitab Ester pasal 7 dan 9. Sekalipun ada ancaman dari pihak yang berbeda, Tuhan hadir dan memberikan pertolongan, bahkan dukacita dan perkabungan diubahkan Tuhan menjadi perjamuan dan sukacita. Demikian pula, pesan Yakobus 5:13-20 mengajak kita untuk terus saling memperhatikan dan meneguhkan dalam persekutuan gereja, dalam wujud saling mendoakan dan menolong sehingga dalam situasi hidup yang penuh dengan pergumulan baik secara pribadi maupun persekutuan, kita dapat terus melangkah maju dalam perjalanan keselamatan kita. Menjadi “garam” dalam hidup berarti membawa damai dan kasih bagi sesama, yang meresap dan memurnikan dalam hidup keseharian. Amin.

Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/

By Admin