Keluarga mana yang tidak pernah berkonflik? Rasanya tidak ada. Mengapa? Karena setiap anggota keluarga memiliki perbedaan. Sekalipun dilahirkan dari orangtua yang sama, anak-anakpun memiliki perbedaan. Perbedaan adalah karunia Tuhan bagi umat manusia.
Hari ini kita membaca surat Paulus kepada jemaat di Filipi. Paulus sadar betul, anggota jemaat hidup dalam keragaman. Perbedaan yang jika tidak dikelola dengan baik akan menghasilkan perpecahan. Hidup bersama dalam sebuah komunitas pastilah menyebabkan gesekan atau konflik. Penyebab utama konflik yang merusak tatanan kehidupan komunitas adalah egosentrisme, memusatkan perhatian pada diri sendiri. Beberapa contoh egosentrisme di tengah jemaat Filipi disebutkan Paulus antara lain: mencari kepentingan diri sendiri (ay. 2), mencari pujian bagi diri sendiri (ay. 2), dan menganggap diri sendiri sebagai yang utama (ay. 3).
Untuk mengatasi hal itu Paulus mengajak anggota komunitas untuk melihat teladan Yesus. Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan” (ay. 6). Dengan kata lain, Yesus tidak memusatkan perhatian pada kepentingan-Nya, melainkan pada kepentingan umat manusia. Bahkan Yesus telah mengosongkan diri (ay. 7). Mengosongkan diri bukan berarti Yesus kehilangan keilahian-Nya. Mengosongkan diri berarti menambahkan dalam diri Yesus yang kekal itu, kemanusiaan yang terbatas dan fana.
Dari nasihat Paulus inilah kita bisa belajar tentang kehidupan komunitas keluarga kita. Sumber konflik keluarga adalah egosentrisme. Cobalah kita perhatikan. Konflik dalam keluarga itu seringkali berawal dari hal-hal yang sederhana. Soal meletakkan baju kotor, memencet pasta gigi, menaruh barang bukan pada tempatnya, lupa mematikan lampu kamar mandi, dan banyak lagi yang lain. Namun ketika ditegur kita tidak terima.
Kita merasa orang lain juga melakukan hal yang sama.Dan banyak alasan yang kita kemukakan untuk membela diri. Sebaliknya teguran kerap dilakukan seolah-olah kita yang paling benar. Konflik-konflik kecil itu kerap menambah dan menyuburkan luka di hati. Luka yang makin lama makin menganga. Kata-kata kita menjadi kasar dan kehilangan kontrol. Wajah dan bahasa tubuh kita jauh dari kelembutan cinta kasih.
Justru karena itu setiap anggota keluarga perlu belajar kerendahan hati seperti Yesus. Kerendahan hati berarti lebih memerhatikan kepentingan orang lain dibandingkan dengan kepentingannya sendiri. Mudah? Tentu saja tidak. Namun, bukankah kita ingin meraih kebahagiaan di tengah keluarga kita? Berarti harus ada harga yang dibayar. Harganya adalah belajar merendahkan hati. Itulah yang dilakukan Yesus. Yesus merendahkan hati bahkan mati di atas kayu salib demi kepentingan manusia.
Untuk bisa memiliki kerendahan hati seperti Yesus, ada sebuah kiat penting. Kiat itu adalah mengosongkan diri. Mengosongkan diri bukan berarti kehilangan dirinya sendiri. Tidak mungkin manusia menghilangkan dirinya. Yang dapat dilakukan adalah menambahkan diri keberadaan orang lain dalam hati kita. Itulah yang dilakukan Yesus. Yesus tidak kehilangan keilahian-Nya, melainkan menambahkan dalam diri-Nya kemanusiaan yang terbatas dan fana.
Memperhatikan kepentingan orang lain sebagai tanda kerendahan hati dan bersedia mengisi hati dengan anggota keluarga yang lain adalah teladan yang sudah ditunjukkan Yesus. Itulah yang perlu kita lakukan di tengah keluarga kita. Pertama-tama orangtualah yang perlu belajar meneladan Yesus yang rendah hati dan mengosongkan diri itu. Sikap itu akan menular pada anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Jika itu terjadi betapa indahnya hidup berkeluarga. Tuhan mencintai kita semua. Amin.
Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id/
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi/