Saudara yang dikasihi Tuhan, Banyak orang, atau mungkin termasuk kita pernah berkata, “Masa lalu biarlah berlalu, ‘ga usah diingat-ingat atau diungkit-ungkit” pada satu sisi, ungkapan ini membawa ketenangan sesaat karena di dalamnya kita merasa diberi ruang untuk memikirkan masa depan. Namun di sisi lain, ingatan akan masa lalu tidak bisa diacuhkan begitu saja. Dengan begitu apakah masa lalu lebih penting daripada masa kini dan masa depan? Dalam hal ini, tidak ada yang lebih penting satu diantara yang lain, karena yang menjadikan penting adalah ketika kita bisa menarik makna dari ketiganya.
Kita saat ini berada di Minggu ketiga Paska yang dalam leksionari, bacaan Injil kita bicara tentang perjalanan dua orang murid menuju Emaus. Mereka memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Perjalanan ini rasanya menjadi momen dua orang murid ini untuk melepaskan kesedihan dan kebingungan mereka atas apa yang terjadi pada Yesus. Namun, Tuhan Yesus sendiri mengenalkan diri-Nya yang bangkit kepada mereka. Tentu, menghayati kebangkitan Yesus bukan perkara mudah bagi para murid. Pikiran manusiawi mereka membutuhkan cukup waktu untuk bisa sampai pada keyakinan penuh, bahwa Ia sungguh bangkit. Dalam prosesnya, Yesus memakai berbagai cara untuk dapat meyakinkan para murid karena merekalah yang akan membawa kabar kebangkitan ini sampai ke ujung bumi.
Saudara yang dikasihi Tuhan, Menarik, bahwa dalam menolong para murid menghayati kebangkitan-Nya, Yesus menemani perjalanan Kleopas dan sahabatnya menuju Emaus. Yesus memakai ingatan kedua murid tentang momen makan bersama dengan para murid, menjadi titik balik Kleopas dan seorang murid yang lain menyadari kehadiran-Nya. Melalui itu, keduanya pun dapat merasakan tanda dari hati mereka yang berkobar sejak Yesus bercakap-cakap selama di perjalanan (ay.32).
Ingatan itu merupakan karya Roh Kudus yang menolong mereka untuk menghayati peristiwa yang baru saja terjadi. Memaknai ingatan akan Kristus juga dilakukan oleh Petrus, dalam teks bacaan pertama kita. Petrus bersama kesebelas rasul lainnya, berdiri dan menyampaikan seruan agar orang-orang Yahudi yang ada di Yerusalem saat itu, percaya pada Yesus yang bangkit (ay.32) dan mendorong agar mereka memberikan diri untuk dibaptis.
Pengalaman dan ingatan bersama Allah yang penuh dinamika, juga dituliskan dengan begitu indah oleh Pemazmur. Ayat 1-4 secara gamblang menjelaskan bagaimana Pemazmur berada dalam kesesakan. Hidup yang berjalan tidak baik-baik saja karena berbagai pergumulan yang datang. Keadaan tidak baik itu kemudian mereda dan berakhir dengan lepasnya ikatan-ikatan yang menyesakkan Pemazmur. Pemazmur pun merasakan bagaimana Allah adalah Allah yang setia mengasihi ciptaan melalui berbagai cara dalam konteks kehidupannya.
Saudara yang dikasihi Tuhan, Menarik, bahwa kehidupan kita saat ini mungkin saja berpotensi kehilangan rasa akan karya Allah dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Rutinitas setiap hari bisa jadi membuat setiap pengalaman bersama Allah menjadi samar-samar dan lewat begitu saja tanpa makna. Berbagai pergumulan dan konflik yang kita hadapi pun dapat menjadi lebih rumit dan tidak membawa dampak baik ketika tidak dimaknai dengan tepat. Kita perlu masuk dalam rekonsiliasi dengan diri sendiri dan orang lain dengan mendasarinya pada kasih Allah.
Untuk itu, mari bergerak untuk membiasakan diri untuk masuk dalam ingatan akan Allah dalam setiap karya-Nya. Kebangkitan Yesus akan menjadi informasi historis saja ketika kita tidak memberi diri untuk menghayatinya melalui ingatan-ingatan yang terus kita hidupi tentang peran-Nya di setiap detik hidup yang kita jalani. Selamat mengingat kasih Allah, selamat menghayati kebangkitan!
Media Sosial Kami
https://gkjkronelan.or.id
https://s.gkjkronelan.or.id/informasi